Adat Batak Membuat Miskin dan Susah?

Pak Dukkap, orangtua yang satu ini sebetulnya punya gelar yang jauh lebih mulia, amani Barita. Sudah barang tentu diambil dari nama anak sulungnya, Barita, yang berarti terberita. Idem dito, populer atawa terkenal. Pak Dukkap, eh, amani Barita, sangat mendambakan agar si Barita kelak bisa mengharumkan nama keluarga. Syukur-syukur jadi Presiden RI pertama dari orang Batak.



Mengapa pelanggan nai Heppot membicarakan orangtua yang menolak jadi Kepala Lingkungan itu,  tak lain karena belakangan ini Pak Dukkap sering mengeluh soal adat.


“Bayangkan, urusan  adat hampir tiap hari ada. Padahal, seperti kalian lihat, pelangganku sudah makin berkurang karena membludaknya pedagang “rojer” atau rombengan. Kalau pun ada order kecil malah ngutang pula. Tapi soal adat mana kenal istilah utang. Masak saat “panjalangon”, pemberian amplop, kita bilang bulan depan saja sama mempelai atau Hasuhuton. Bisa-bisa bikin fals musik kibordnya itu,” keluh Pak Dukkap sambil mengisap asap rokoknya dalam-dalam.


“Kalau dompetku masih tebal, tak apalah. Ini bisa bikin awak miskin jadinya,” katanya lagi sambil memukul-mukul meja.

“Memangnya sudah berapa lama lae berumatangga?,” tanya amani Urbit.


“Bah, bisa lae hitung sendiri. Si Barita sekarang sudah SMA kelas dua. Di Siantar pula dia sekolah dan in the kost Apa tak poning kepala ini, berapa biayanya sehari-hari. Belum beres urusan sama beremu itu lae, “Panggokhon” alias pengundang sudah datang pula bertubi-tubi. Unang lupa ho da pak Dukkap, pesta ni beremon” tegas Pak Dukkap sambil menirukan suara pengundang kawin itu. Maksudnya agar Pak Dukkap tak lupa menghadirinya. Kali ini ia memukul-mukul jidatnya yang lebar. 


“Nah, itulah yang mau kuperjelas. Berarti lae sudah sekitar 15 tahun berumatangga dan tentunya, senantiasa mengikuti kegiatan adat. Apa lae merasa jatuh miskin karena adat?,” tanya amani Urbit.


Pak Dukkap diam. Mau mengatakan ya, ia merasa malu. Maklumlah, meski lewat kredit barang, Pesawat TV plus parabolanya yang baru belum seminggu lalu dimasukkan nai Paten sang tukang kredit keturunan Tionghoa itu. “Jangan lupa lho pak Dukkap, tiap minggu aku datang. Paling lendah sepuluh libu lho,” begitu pesan nai Paten yang berlidah cadel itu.


Mau mengatakan tidak, Pak Dukkap sudah terlanjur tadi mengecam urusan adat yang menurutnya bisa membuat miskin. Serba salah, ibarat buah simalakama. Apalagi amani Urbit pula yang membantunya menurunkan barang kreditannya itu dari oplet. 


“Sebetulnya, bukan adat itu yang salah. Dia tak membuat miskin dan juga tak membuat kaya. Itulah tatanan atau norma-norma kemasyarakatan yang membuat kita justru lebih mulia dari antara mahluk ciptaan Tuhan. Coba bayangkan Pak Dukkap, seandainya kita tak punya adat, tak maradat. Bisa sama kita dengan Hurjemu atau hewan peliharaanmu yang di belakang itu. Jadi tergantung bagaimana kita menafsirkan saja. Jangankan adat, Kitab Suci saja, bisa jadi salah kalau penafsiran kita salah. 


Contohnya, ada sebagian pihak yang menganggap Ulos tak sesuai dengan ajaran Gereja sehingga sampai membakarnya. Apa salah Ulos itu. Kalau mau kita buat dia sebagai berhala, bisa. Mau suci, juga bisa. Sekali lagi, tergantung penafsiran. Poti Marende yang di gereja itu bisa juga kita jadikan alat memanggil roh kalau kita memang meyakininya. Kemeja biasa pun dipakai orang saat “marjalangkung”. Jadi kenapa harus Ulos atau “gondang Batak” kita korbankan?,” papar amani Urbit panjang-lebar.


“Jadi yang pelu adalah penyempurnaan. Bagaimana agar adat itu tidak bertele-tele dan pemborosan. Contohnya, “Tingkir Tangga” atau babak terakhir dari sebuah pesta perkawinan yang seringkali jatuhnya sudah menunjuk angka jam sembilan malam. Belum lagi “Mangulosi”, yang malah, orang dari kutub utara dan selatan  pun bisa sembarangan melakukannya. Tak ada itu. Dan terutama kita yang tinggal di “Bona Ni Pasogit” ini, kiranya agar lebih cermat sehingga pesta adat tidak membosankan namun tetap pada koridornya. Lain lubuk lain ikannya. Belum apa-apa soal biaya kalau kita bandingkan dengan adat Tanah Toraja. Miliyaran, cing. Tapi itu membuat gairah kerja makin hidup,” tandas amani Urbit. 


***(Sarido Ambarita)

Read More