Makna dan Arti Metmet Do Sihapor Lunjung Dijunjung Do Uluna

"Metmet do sihapor lunjung Dijunjung do uluna" ,(Biarpun capung itu kecil, tapi kepalanya selalu diangkat. Artinya : seremeh apa pun seseorang dalam pandangan orang lain, dia wajib menjunjung martabat dan kehormatannya)


Bangso Batak memiliki kesadaran yang kuat dalam menjaga martabat dan kehormatan diri, dan ini adalah satu hal yang kubanggakan dari mereka. Kearifan lama yang mengagumkan itu terlihat dalam cara mereka menjunjung martabat dan kehormatan dengan selalu memulai dengan menghormati Tuhan Yang Maha Pencipta dan orang lain.


Di lingkungan Batak Toba, manortor selalu diawali dengan menyatakan hormat dan memohon restu kepada Tuhan Yang Maha Pencipta. Pihak yang meminta gondang akan mengatakan hal berikut kepada partagading, "Alu-aluhon damang majolo Tu Debata Mulajadi Na Bolon (Mohonlah dulu restu dari Tuhan Yang Maha Pencipta)." Setelah itu, "Alu-aluhon damang majolo tu Amanta Raja (Mohonlah dulu restu dari raja adat)." Lalu, permintaan ditutup dengan, "Alu-aluhon damang majolo tu juara natorop (Mohonlah dulu restu dari para hadirin)."


Dalam tiga gondang pembuka itu, mereka bersikap menyembah secara khas Batak, yaitu menangkupkan kedua tangan dan menempatkannya di depan dada. Barulah setelah usai tiga gondang "marsomba" itu, tangan boleh terkembang dan kaki digerakkan sesuai irama gondang. 

Dari ilustrasi gondang tadi bisa kita simpulkan, sesungguhnya Batak adalah bangso berbudaya tinggi, santun dan respek. Orang Batak juga cinta damai, meski kritis dan dialektis. Halak hita memang terkenal jugul atau keras kepala. Mau berdebat sampai ke ujung dunia demi mempertahankan pendiriannya. Tapi, Batak sejati tidak pernah menjadikan perbedaan pendapat, alasan untuk membenci dan bermusuhan.


Satu yang paling penting, orang Batak tidak pernah cari musuh, tapi sebaliknya sangat senang memulai persahabatan. Inilah salah satu keunggulan Batak, sehingga disenangi dan diterima sebagai saudara oleh semua suku di Indonesia.


Di kalangan Batak sendiri, salah satu tolok ukur kesuksesan perantau–selain kekayaan, karir dan pangkat, adalah keberhasilan beradaptasi dengan masyarakat tempat dia tinggal. “Jago do imana ba, boi gabe donganna sude parhuta i. Molo adong namartahi jahat tu ibana, pintor parhutai do maju" (Hebat dia itu, bisa dia rangkul semua tetangganya. Kalau ada orang berniat jahat sama dia, para tetangganya itu yang maju menghadang).


Dulu, setiap anak muda yang akan merantau selalu dinasehati oleh orang tuanya,”Malo-malo ho amang/boru da. Unang pailahon. Ingkon patuduon do iba anak/boru ni raja. Unang pajago-jagohon. Lului ma na gabe natua-tuam di pangarantoanmi, ai anggo hami holan pangintubu nama. Molo dia-dia ho, ndang boi pintor tibu ro hami" (Pintar-pintar kau ya Nak. Jangan bikin malu. Tunjukkan bahwa kau anak/boru raja. Jangan sok jago. Carilah yang bisa jadi orang tuamu di rantau, karena kami hanya sebagai orang tua yang melahirkanmu. Kalau ada apa-apa denganmu di rantau, tak mungkin kami cepat-cepat datang).


Sebaliknya, ada juga segelintir Batak sok jago, yang tak disukai kalangan Batak sendiri. Kalau ada orang Batak terbunuh karena sok jago, orang Batak biasanya akan berkata,”Tuani ma matei, ai pantang so jago do antong. I do jambar ni jolma napajago-jagohon" (Syukurlah mati dia, soalnya sok jago sih. Itulah ganjaran yang pantas buat orang sok jago).


Di sisi lain harus diakui, ada sikap antipati dan rasis terhadap orang Batak, tapi itu hanya di perkotaan di pulau Jawa, yang berakar dari sentimen politik. Kebanyakan orang Batak berhasil mengatasinya, dengan kesabaran dan kepedulian, sehingga antipati berubah jadi simpati yang mendalam.

Comments
0 Comments


EmoticonEmoticon