Dang Tumangon Tuhalak Adong Do Hita

Dang Tumangon Tuhalak Adong Do Hita

"Dang Tumagon Tu Halak Adong Do Hita" adalah suatu metoda penyampain yang dibuat oleh pengusaha-pengusaha Batak dalam perdagangan atau bisnis terutama untuk mencari simpati konsumen di kalangan etnik Batak . Ungkapan tersebut biasanya terjadi di daerah yang mana penduduknya diketahui banyak orang Batak dan memang konsumennya banyak orang batak.

Namun hal itu juga terjadi tidak hanya usaha orang Batak dalam menyampaikan produk yang akan di jual atau dipasarkan, hal ini juga terjadi di kalangan orang tua Batak terhadap anaknya apabila si anak hendak berkeluarga tetapi memilih jodoh yang bukan Batak, maka kata-kata itu sering muncul.

Tapi terkadang usaha orang Batak untuk mencari benar-benar yang masih memiliki kepribadian atau jiwa orang Batak itu sendiri sangatlah sulit, apalagi sekarang ini banyak orang Batak yang merantau dan lahir di daerah yang bukan Batak.

Batak yang terkenal dengan adaptasinya dengan istilah "dimana bumi dipijak disitu langit di junjung" sering melupakan identitas dirinya.
Yang lebih mengherankan lagi, begitu banyaknya orang Batak yang malu menjadi orang Batak. Contohnya, Si Togap yang baru saja menginjak kota Jakarta yang dahulunya bahasa Bataknya begitu kental namun setelah tiga hari di Jakarta, Togap sudah tidak mengatakan "ahu, aku, kau,ho" lagi, tapi berubah menjadi "gue,lo", walau lawan bicaranya adalah orang Batak yang fasih berbahasa Batak dan masih dari kampung, begitu juga dengan orang-orang Batak yang merantau ke luar negri contohnya USA,Jerman,atau yang lainnya.



Demikian juga yang terjadi dengan Keluarga Si Monang. Prinsip "Dang Tumagon Tu Halak Adong Do Hita" berlaku dalam pencarian jodoh boru halak hita (Batak). Monang yang merantau ke Jakarta, rupanya jatuh cinta dengan seorang gadis boru Batak namanya "Butet" di Jakarta dan berniat untuk menikahi "Butet" tersebut, ingat pesan orang tuanya "Monang, Anakku kalau kamu pergi merantau jangan lupa, tetap harus boru Batak yang nantinya menjadi istrimu" pesan orang tuanya.

Butet yang lahir dan besar di Jakarta sangat kental dengan budaya Metropolitannya. Butet juga setuju untuk menikah dengan si Monang. Monang juga sudah mengajari Butet sedikit-sedikit bahasa Batak. Lalu monang mengabari si Bapak agar datang ke Jakarta untuk menemui calon mantunya.

Si Bapak pun kemudian datang dengan senang hati karena si Monang telah menemukan jodoh boru Batak. Sampailah di rumah si Monang, Bapak tersebut mengetok pintu dan yang membukakan adalah calon menantunya, dengan riak gembira si Butet berteriak "abang, abang si Amang dah datang" kerasnya. Dengan hati gundah si Bapak terkejut "bah, bah baru aja sampai, belum aja jadi menantu udah di bilang awak si Amang, yang dikiranya awak bodat yang diharangan itu" gundahnya. Sementara si Monang tertegun diam "Bapaknya, sudah awak bilang ngga mesti orang Batak tapi Bapak paksa awak, adapula istilah dang tumagon tuhalak adong do halak hita, aneh," pikirnya.

Adapun kisah diatas sebenarnya diangkat dan dicoba di ubah kedalam bahasa Indonesia agar pembaca dapat mengerti, dan memahami sesungguhnya Adat atau kebiasaan itu tidaklah menjadi penghambat kita untuk bergaul atau berteman, tetapi memacu kita kearah yang lebih baik dan lebih menghargai.

Kita tidak mesti menikah dengan orang Batak, apalagi dengan istilah-istilah di atas. Tetapi kita harus mencari yang terbaik buat kita tanpa harus melupakan adat atau kebiasaan Batak itu sendiri. Karena dari dahulu orang-orang Batak yang maju sekarang adalah orang-orang Batak yang telah ditanamkan kebiasaan dan sifat-sifat Batak itu sendiri.

Comments
0 Comments


EmoticonEmoticon