Adat Batak Membuat Miskin dan Susah?

Pak Dukkap, orangtua yang satu ini sebetulnya punya gelar yang jauh lebih mulia, amani Barita. Sudah barang tentu diambil dari nama anak sulungnya, Barita, yang berarti terberita. Idem dito, populer atawa terkenal. Pak Dukkap, eh, amani Barita, sangat mendambakan agar si Barita kelak bisa mengharumkan nama keluarga. Syukur-syukur jadi Presiden RI pertama dari orang Batak.



Mengapa pelanggan nai Heppot membicarakan orangtua yang menolak jadi Kepala Lingkungan itu,  tak lain karena belakangan ini Pak Dukkap sering mengeluh soal adat.


“Bayangkan, urusan  adat hampir tiap hari ada. Padahal, seperti kalian lihat, pelangganku sudah makin berkurang karena membludaknya pedagang “rojer” atau rombengan. Kalau pun ada order kecil malah ngutang pula. Tapi soal adat mana kenal istilah utang. Masak saat “panjalangon”, pemberian amplop, kita bilang bulan depan saja sama mempelai atau Hasuhuton. Bisa-bisa bikin fals musik kibordnya itu,” keluh Pak Dukkap sambil mengisap asap rokoknya dalam-dalam.


“Kalau dompetku masih tebal, tak apalah. Ini bisa bikin awak miskin jadinya,” katanya lagi sambil memukul-mukul meja.

“Memangnya sudah berapa lama lae berumatangga?,” tanya amani Urbit.


“Bah, bisa lae hitung sendiri. Si Barita sekarang sudah SMA kelas dua. Di Siantar pula dia sekolah dan in the kost Apa tak poning kepala ini, berapa biayanya sehari-hari. Belum beres urusan sama beremu itu lae, “Panggokhon” alias pengundang sudah datang pula bertubi-tubi. Unang lupa ho da pak Dukkap, pesta ni beremon” tegas Pak Dukkap sambil menirukan suara pengundang kawin itu. Maksudnya agar Pak Dukkap tak lupa menghadirinya. Kali ini ia memukul-mukul jidatnya yang lebar. 


“Nah, itulah yang mau kuperjelas. Berarti lae sudah sekitar 15 tahun berumatangga dan tentunya, senantiasa mengikuti kegiatan adat. Apa lae merasa jatuh miskin karena adat?,” tanya amani Urbit.


Pak Dukkap diam. Mau mengatakan ya, ia merasa malu. Maklumlah, meski lewat kredit barang, Pesawat TV plus parabolanya yang baru belum seminggu lalu dimasukkan nai Paten sang tukang kredit keturunan Tionghoa itu. “Jangan lupa lho pak Dukkap, tiap minggu aku datang. Paling lendah sepuluh libu lho,” begitu pesan nai Paten yang berlidah cadel itu.


Mau mengatakan tidak, Pak Dukkap sudah terlanjur tadi mengecam urusan adat yang menurutnya bisa membuat miskin. Serba salah, ibarat buah simalakama. Apalagi amani Urbit pula yang membantunya menurunkan barang kreditannya itu dari oplet. 


“Sebetulnya, bukan adat itu yang salah. Dia tak membuat miskin dan juga tak membuat kaya. Itulah tatanan atau norma-norma kemasyarakatan yang membuat kita justru lebih mulia dari antara mahluk ciptaan Tuhan. Coba bayangkan Pak Dukkap, seandainya kita tak punya adat, tak maradat. Bisa sama kita dengan Hurjemu atau hewan peliharaanmu yang di belakang itu. Jadi tergantung bagaimana kita menafsirkan saja. Jangankan adat, Kitab Suci saja, bisa jadi salah kalau penafsiran kita salah. 


Contohnya, ada sebagian pihak yang menganggap Ulos tak sesuai dengan ajaran Gereja sehingga sampai membakarnya. Apa salah Ulos itu. Kalau mau kita buat dia sebagai berhala, bisa. Mau suci, juga bisa. Sekali lagi, tergantung penafsiran. Poti Marende yang di gereja itu bisa juga kita jadikan alat memanggil roh kalau kita memang meyakininya. Kemeja biasa pun dipakai orang saat “marjalangkung”. Jadi kenapa harus Ulos atau “gondang Batak” kita korbankan?,” papar amani Urbit panjang-lebar.


“Jadi yang pelu adalah penyempurnaan. Bagaimana agar adat itu tidak bertele-tele dan pemborosan. Contohnya, “Tingkir Tangga” atau babak terakhir dari sebuah pesta perkawinan yang seringkali jatuhnya sudah menunjuk angka jam sembilan malam. Belum lagi “Mangulosi”, yang malah, orang dari kutub utara dan selatan  pun bisa sembarangan melakukannya. Tak ada itu. Dan terutama kita yang tinggal di “Bona Ni Pasogit” ini, kiranya agar lebih cermat sehingga pesta adat tidak membosankan namun tetap pada koridornya. Lain lubuk lain ikannya. Belum apa-apa soal biaya kalau kita bandingkan dengan adat Tanah Toraja. Miliyaran, cing. Tapi itu membuat gairah kerja makin hidup,” tandas amani Urbit. 


***(Sarido Ambarita)

Read More

Nasihat atau Poda Orang Batak

Nasihat orang batak disebutlah itu dengan Poda Orang Batak yang artinya adalah: Suatu petunjuk yang disampaikan kepada anaknya, atau sebuah Nasihat yang disampaikan orang yang lebih tua terhadap seseorang, berupa didikan dan peringatan yang diberikan berdasarkan kebenaran dengan maksud untuk menegur dan membangun seseorang dengan tujuan yang baik.Jadi Poda batak selalu bersifat mendidik.



1.  Pantun do Hangoluan, Tois do Hamagoan

Poda ini pasti disampaikan orangtuanya kepada anaknya agar anaknya santun terhadap siapapun dan jangan Egois atau nakal dan kurang ajar terhadap siapapun itu, Baik yang dibawahnya ataupun yang diatasnya.

Kalau diartikan dalam bahasa indonesia, Pantun yaitu Santun, Ramah dan Tois Adalah angkuh, biadap, kurang ajar, nakal, ceroboh, suka melawan, bangkang.

Poda ini juga tidak lupa dititipkan orangtuanya kepada anaknya sewaktu mau merantau.


2. Mata Guru, Roha Sisean

Poda ini juga sangat sering disampaikan orang tua kepada anaknya. Poda ini sangat mengandung arti yang sangat luar biasa. Kurang lebih artinya seperti ini : Jadikan Mata sebagai guru kemanapun menginjak tanah dan Nurani sebagai tuntunan hidup kemanapun melangkah.
Karena apa yang kita lihat, maka bisa kita perbuat demikian. Baik atau tidaknya yang kita lihat, maka Sisean (hati) kitalah sebagai penentunya.


3. Marbisuk Songon Ulok Marroha Songon Darapati

Poda ini bukanlah sembarangan poda saja, Sangat besar atinya untuk seseorang, dan ini bisa jadi modal seseorang dimanapun berada.

Yang berarti kita harus Bisuk (Cerdik) terhadap sebuah yang akan kita lakukan, Dan Marroha songon darapati (Berpikir, bersikap seperti merpati,). Bahkan dalam arkitab juga disinggung mengenai hal ini "Lihat, Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah-tengah serigala, sebab itu hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati." Matius 10:16.

Kata Ulok (Ular), sebenarnya tidak dikategorikan sebagai hewan yang cerdik. Seringkali justru dikaitkan sebagai binatang yang licik. Bisanya yang mematikan, dan pagutannya yang secepat kilat ketika menyergap mangsa yang tak siap, menunjukkan sikap ke "licik" an dari ular.

Kemudian Darapati (Burung Merpati), adalah sejenis burung yang mampu terbang berkilo-kilometer jauhnya, kembali ke tempat asalnya. Oleh karena itu, merpati dipakai sebagai lambang pt pos, yang mengantarkan surat ke tempat tujuannya, walaupun jaraknya jauh.

Jadi Poda ini biasa ditafsirkan orang batak bahwa seseorang itu harus memiliki hati yang tulus seperti merpati, tetapi juga harus bertindak cerdik, seperti ular.


4.  NASOOLO MANARUS GUAMON, JALA NASOOLO PATARUSHON ANDURABION

Atinya adalah, Orang batak itu diajari supaya jangan belajar untuk menjadi orang bodoh, Dan kalau pun kamu sudah pintar, maka jangan mengajari orang untuk bodoh. 


5. Pasomal-somal ma dirim tu na denggan asa gabe bakko

Kalau diartikan kata-kata ini seperti ini: Biasakan lah dirimu untuk melakukan sesuatu itu dengan kebaikan biar jadi darah daging bagimu ,atau Supaya kamu kebiasaan melakukan yang baik.

Dalam bahasa indonesia juga pasti sudah pernah kita dengar "Ala Bisa Karena Biasa", Hampir sama artinya dengan ungkapan "Pasomal-somal ma dirim tu na denggan asa gabe bakko". Namun ada sedikit perbedaan, dimana dalam Poda batak ini lebih ditekankan kepada kebaikan dan ketulusan terhadap membantu sesama.


6. Pasangap Natorasmu

Ini juga adalah Poda yang sangat sering diucapkan oleh orang batak untuk anaknya. Orangtua menasehati anaknya agar hormat terhadap orangtuanya sendiri dan orang yang lebih tua dari dirinya.

Jadi bukan cuma orangtuanya sendiri yang harus Dipasangap (dihormati), Orang yang lebih tua dari dia juga harus dihormati.


7. Jolo Nidilat Bibir Asa Nidok Hata

Poda ini disampaikan kepada anaknya agar tidak menjadi orang Jabir, atau agar tidak mengada-ada kata yang tidak benar sehingga menimbulkan kemarahan seseorang. Jadi seseorang itu diharuskan berpikir dulu sebelum bertindak.


8. Talu maralohon dongan, monang maralohon musuh.

Jadi orang batak itu selalu mamodai agar anaknya menjadi anak yang sangat baik. Bahkan anaknya disuruh mengalah terhadap Teman. Atau istilahnya Tidak apalah kalaupun kalah/ mengalah terhadap teman asalkan menang melawan musuh. Hebatnya lagi, Kalau musuh itu mesti diselesaikan secara jantan.


9. Unang Monang di surak-surak, Alai talu di olop-olop. 

Poda ini juga sangat besar maknanya, dimana seringkali kita Keburu bersorak karena dikira sudah menang padahal ternyata kalah. Jadi dalam poda ini diajarkan agar tetap menjadi orang yang biasa saja meskipun itu kalah atau menang dalam segala hal. (Unang sipanggaron attong).


10. Naso matanggak di hata, naso matahut di bohi

Poda ini juga sangat dituntut dalam kehidupan seseorang. Dimana diharuskan agar Berani mengatakan yang benar itu benar, dan yang salah itu salah. (Molo sala, Nihatahon sala, Molo Tikkos, Nihatahon Tikkos). Jika ya, katakan ya... Jika tidak, ya katakan tidak.


11. Na tinaba ni tangke martumbur, na tinamba ni gana ripur

Kalau poda yang satu ini diartikan dalam bahasa indonesia adalah "Yang ditebang kampak akan bertunas, yang ditebang sumpah mati tak akan berketurunan". Poda ini diingatkan orangtuanya agar tidak  mengatakan Sumpah terhadap seseorang, apalagi sama pacarnya .Hal ini bertujuan supaya jangan sampai termakan sumpah sebab berat risikonya.


12. Nang pe di bagasan sunuk manuk sabungan, sai tong do martahuak.

Poda ini diibaratkan dengan seeokor Ayam dalam keranjang. Dimana kalaupun terkurung di dalam keranjang, ayam sabung akan tetap berkokok. Artinya, Kalau memang pemberani maka si pemberani itu akan selalu menunjukkan keberaniannya di mana pun ia berada. ( Jadi unang asang-asang ala di hutana)


13. Marsitijur dompak langit, sai madabu do tu ampuan.

Meskipun seorang batak itu ganteng, Cantik, Tajir, jadi tetap diajarkan agar rendah hati dan jangan sepat menghina seseorang apabila dia lebih jelek. Dan supaya tidak menjelekkan saudara sendiri  Dimana arti poda diatas adalah "meludah ke langit dengan sendirinya jatuh ke pangkuan". Artinya ; menjelekkan saudara sendiri sama dengan menjelekkan diri sendiri.


14. Na teal so hinallung na teleng so hinarpean.

Arti ungkapan diatas adalah yang berat sebelah tidak dipikul, yang mirik tidak dialasi. Jadi anaknya diberi peringatan agar tidak angkuh dan merasa memiliki harta melimpah. Karena bagaimana pun itu tidak ada artinya bagi yang lain


15. Tedek songon indahan di balanga

Ini termasuk poda yang sangat penting bagi seorang anak., Supaya ia Terbuka atau transparan seperti nasi dalam kuali. Artinya tidak ada yang perlu ditutup-tutupi. Orang tua sesungguhnya tidak menyukai jika anaknya menutupi sesuatu, jadi diajarkan agar dicurhatkan langsung pada orangtuanya.


16. Ndang uasan halak di toru ni sampuran.

Jadi seorang anak itu dipodai juga agar mencari kemakmuran ditempat yang akan diinjak. Dimana arti poda diatas adalah seseorang itu Tidak akan kehausan orang di dekat air terjun. Jadi, Jika kamu makmur, maka pastilah kamu tidak akan kelaparan.


17. Maila raut so dapotan.

Poda ini juga menganjurkan anaknya supaya tidak menggunakan Sajam (senjata Tajam) Untuk melukai siapapun. dimana maksudnya juga adalah malu pisau tidak melukai . Ini dikatakan untuk melarang keras orang yang suka mempermainkan pisau, sebab bukan tak mungkin akan melukai orang.


18. Songon tuhil, ia pinasak masuk, ia tinait ro

Bagaikan pahat dipukul; masuk, ditarik kembali. Maksudnya; janganlah bekerja kalau disuruh, ambil inisiatif. Ini cocok bagi orang yang selalu disuruh baru dikerjakan. Poda ini diucapkan orang batak untuk anaknya yang bekerja. Agar dia disukai atasannya dan juga orang lain, maka langsung ambil Inisiatif.


19. Ndang boi sambariba tangan martopak

Ini biasanya diucapkan orang batak terhadap anaknya yang mencintai terhadap seseorang namun seseorang itu tidak mencintai anaknya. jadi dipodakanlah bahwa Tak mungkin hanya bertepuk tangan sebelah.

Sebaiknya anaknya mencari yang lain karena cintanya tidak akan pernah diterima.


20.  Tiptip alai sai adong masiganjangi, dosdos alai sai adong mansiboloni.

Poda ini dikatakan orangtuanya supaya anaknya tidak cemburu melihat saudaranya lebih sukses/kaya dari dia. Karena Walaupun bersaudara tetapi semuanya tidak akan sama jalan pikiran maupun harta kekayaannya.


21. Tigor do ransang hapit

Poda ini diumpamakan seperti  kayu ransang yang lurus namun terjepit. Artinya, Meskipun nanti anaknya Selalu bebuat benar dan tulus bisa saja terjepit, sehingga ia merasa serba salah. Jadi harus tetap Sabar.


22. Mambuat mas sian toru ni rere

Meskipin pangkat dan jabatan anak orang batak sudah tinggi, namun selalu diajarkan agar tetap adil. Karena arti poda diatas adalah seseorang yang mengambil emas dari bawah tikar buruk. Maksudnya agar jangan mengambil keuntungan dari jalan terkutuk ( korupsi dan menipu).


23. Maraprap na so magulang.

Orang yang tidak jatuh, malah ikut terluka. Maksudnya, jangan ikut terlibat dan melibatkan orang lain pada sesuatu yang bukan urusannya. Jadi poda ini dikatakan agar anaknya tidak mencampuri urusan orang lain.


24. Tu sundungna do hau marumpak.

Poda ini sangat bagus dikatakan kepada anaknya agar anaknya selalu berbuat baik dan beramal. Dimana artinya adalah "Pohon akan tumbang ke arah condongnya". Yang berarti, seseorang itu akan menjadi seperti apa kelak, akan sesuai bakat, talenta serta amal perbuatannya.


25. Bolus do mula ni hadengganon, jujur do mula ni hasesega

Arti poda diatas adalah seseorang yang Cepat melupakan perbuatan yang tidak baik seseorang maka akan bersumber kebaikan, tetapi suka menghitung perbuatan baik kita menjadi sumber perselisihan.


26. Risi-risi hata ni jolma, lamot-lamot hata ni begu.

Poda ini disampaikan kepada anaknya, dimana arti poda ini adalah bahwa Ucapan manusia itu kasar, tetapi ucapan iblis itu halus lemah-lembut. Ungkapan ini mengingatkan supaya Anaknya itu jangan cepat tergiur pada kata-kata rayuan yang hanya enak didengar kuping, padahal maksud dan tujuannya untuk menusuk dari belakang atau tipuan.


27. Sahalak maniop sulu, sude halak marsuluhonsa.

Jadi poda ini dititipkan orangtuanya kepada anaknya supaya tetap berbuat baik. Dimana jika ia terus berbuat baik, semua keluarganya akan bergembira karena merasakan hasil perbuatan baiknya tersebut. Ini diucapkan untuk menghargai perbuatan baik seseorang sekaligus mengharap agar semakin banyak orang yang menjadi ”berkat” untuk orang lain dan keluarga.


28. Sidapot solup do na ro.

Jika anaknya menjadi seorang Pendatang nanti di negeri orang, maka anaknya diajarkan agar mematuhi atau tunduk pada kebiasaan adat yang berlaku setempat, Tidak boleh mengatakan, wah.. kalau yang berlaku di daerah kami… begini atau begitu.


29. Mulak-ulak songon namangusa botohon.

Berulang sulang atau bolak-balik bagaikan membersihkan tangan. Artinya, tidaklah salah walaupun apa yang telah diucapkan pembicara terdahulu diulangi lagi oleh pembicara belakangan.


30. Ulu balang na so mida musu

Poda ini juga disampaikan kepada anaknya supaya jangan sok dan mengaku jagoan dan pemberani tetapi tak pernah berhadapan dengan musuh.


Orang batak selalu mamodai (menasehati) anaknya agar berperilaku yang baik dan patut dicontoh orang lain. Semenjak anak sudah tahu arti kata, orang tuanya sudah mulai menyiram berbagai Poda untuk anaknya agar anaknya tidak terpengaruh terhadap hal-hal yang tidak diinginkan.

Read More

GEMOR nya Orang Batak

Masyarakat adat Batak memiliki sistem dan pranata adat yang berbeda di setiap marga dan huta (kampung) mereka. Walaupun secara umum mirip, masing-masing marga dan huta memiliki kedaulatan penuh atas wilayah mereka sendiri. Oleh karena itu, ada ungkapan Batak yang mengatakan "si dapot solup do na ro," yang berarti bahwa orang atau marga yang datang dari luar komunitas huta harus mengikuti ketentuan atau aturan adat yang berlaku di huta tersebut.



Prinsip ini berlaku sebaliknya ketika mereka meninggalkan huta mereka untuk pergi ke luar. Mereka harus mengikuti ketentuan adat yang berlaku di tempat tersebut. Dalam hal merencanakan dan membuat keputusan, musyawarah adat biasanya diadakan di mana seluruh warga huta harus hadir dan memberikan pendapat hingga tercapai kesepakatan. Ini berarti semua komponen marga di huta tersebut harus hadir, termasuk tonggo raja, ria raja, pangarapotan, dan lainnya.


Oleh karena itu, sangatlah aneh jika saat ini ada rencana musyawarah masyarakat adat Batak yang diinisiasi oleh marga tertentu yang tidak tinggal di Tano Batak untuk membicarakan Tano Batak. Ada juga yang merencanakan musyawarah adat tersebut di luar Tano Batak dengan hanya mengundang beberapa orang marga. Ini jelas melanggar prinsip "si dapot solup do na ro" yang telah menjadi tradisi masyarakat adat Batak selama bertahun-tahun.


Dalam hal ini, penting bagi masyarakat adat Batak untuk memperhatikan prinsip dan aturan adat yang telah ditetapkan dan diwariskan secara turun-temurun. Hal ini penting untuk menjaga keutuhan dan keberlangsungan hidup masyarakat adat Batak, serta untuk memperkuat identitas budaya mereka.   


Gemor adalah istilah yang ditujukan kepada seseorang oknum yang berkelakuan rakus dan egois. Tapi yakinlah sebagai orang Batak, barang siapa yang mencoba merusak dan mengubah tatanan dasar-dasar adat Batak akan menerima resiko kutukan. Jadi hal ini untuk mengingatkan saja. Jangan mengambil keuntungan dengan cara mengindahkan dasar dan aturan paradaton.


Hal ini bukan "politisasi" adat batak, ini lebih pada "pemanfaatan" adat batak untuk kepentingan tertentu. Persoalannya, sampai sejauh mana kita memanfaatkan adat batak itu untuk tujuan yang mau dicapai.

HAMORAON, HAGABEON DAN HASANGAPON, adalah cita-cita yang mau dicapai sebagai orang batak baik secara individu maupun secara kelompok. Ini harus dibedakan dengan sistem budaya dalihan natolu. Dalihan natolu bukan sebuah statifikasi sosial, tetapi sebih pada "kesetaraan". 

Karena setiap individu orang batak, bisa mendapatkan posisi ketiga unsur dalam dalihan natolu dalam waktu dan tempat yang berbeda. Dan dalihan natolu inilah sebagai landasan "Demokrasi" masyarakat Batak. Didalam setiap pranata hidup orang Batak harus berlandaskan Dalihan Natolu, baik dalam pesta adat ntah itu kelahiran, perkawinan dan kematian, maupun dalam kehidupan sehari-hari baik dalam soal sosial, ekonomi dan politik.

Sebagai individu orang Batak, bisa saja mengatakan anak ni raja, manang boruni raja, tetapi pada waktu dan tempat yang berbeda, ini yang harus lebih dipahami agar tidak salah langkah.


Adat dipolitisasi merupakan salah satu dampak dari adagium hamoraon-hagabeon-hasangapon, yang didahulukan adalah kekayaan (materialisme). karena itu sempat disebut: manggalangdo mula ni harajaon. Galang sudah diartikan traktir makan, menyogok orang banyak secara tidak langsung. yang berikan servis itu ada tujuan lain, di luar tujuan sosial.



Di kalangan orang batak di perantauan, terutama Jakarta, terpatri pemahaman bahwa adat itu adalah kesepakatan. Artinya, apa yang disepakati (diputuskan) dengan acuan Dalihan Natolu dalam tonggo raja, ria raja, pangarapotan dan lainnya, itulah yang dilaksanakan baik dalam suka maupun duka. 

Tidaklah aneh, jika ada orang batak merencanakan musyawarah masyarakat adat batak (yang diinisiasi beberapa orang dan beberapa marga saja) untuk membicarakan tano batak. Karena itu adalah proses demokrasi menuju kesepakatan. Persoalannya, tercapaikah kesepakatan yang mengacu kepada Dalihan Natolu? Atau jangan-jangan yang muncul pasca musyawarah adat adalah perpecahan/konflik, seperti biasa?.


Read More

Makna dan Arti Metmet Do Sihapor Lunjung Dijunjung Do Uluna

"Metmet do sihapor lunjung Dijunjung do uluna" ,(Biarpun capung itu kecil, tapi kepalanya selalu diangkat. Artinya : seremeh apa pun seseorang dalam pandangan orang lain, dia wajib menjunjung martabat dan kehormatannya)


Bangso Batak memiliki kesadaran yang kuat dalam menjaga martabat dan kehormatan diri, dan ini adalah satu hal yang kubanggakan dari mereka. Kearifan lama yang mengagumkan itu terlihat dalam cara mereka menjunjung martabat dan kehormatan dengan selalu memulai dengan menghormati Tuhan Yang Maha Pencipta dan orang lain.


Di lingkungan Batak Toba, manortor selalu diawali dengan menyatakan hormat dan memohon restu kepada Tuhan Yang Maha Pencipta. Pihak yang meminta gondang akan mengatakan hal berikut kepada partagading, "Alu-aluhon damang majolo Tu Debata Mulajadi Na Bolon (Mohonlah dulu restu dari Tuhan Yang Maha Pencipta)." Setelah itu, "Alu-aluhon damang majolo tu Amanta Raja (Mohonlah dulu restu dari raja adat)." Lalu, permintaan ditutup dengan, "Alu-aluhon damang majolo tu juara natorop (Mohonlah dulu restu dari para hadirin)."


Dalam tiga gondang pembuka itu, mereka bersikap menyembah secara khas Batak, yaitu menangkupkan kedua tangan dan menempatkannya di depan dada. Barulah setelah usai tiga gondang "marsomba" itu, tangan boleh terkembang dan kaki digerakkan sesuai irama gondang. 

Dari ilustrasi gondang tadi bisa kita simpulkan, sesungguhnya Batak adalah bangso berbudaya tinggi, santun dan respek. Orang Batak juga cinta damai, meski kritis dan dialektis. Halak hita memang terkenal jugul atau keras kepala. Mau berdebat sampai ke ujung dunia demi mempertahankan pendiriannya. Tapi, Batak sejati tidak pernah menjadikan perbedaan pendapat, alasan untuk membenci dan bermusuhan.


Satu yang paling penting, orang Batak tidak pernah cari musuh, tapi sebaliknya sangat senang memulai persahabatan. Inilah salah satu keunggulan Batak, sehingga disenangi dan diterima sebagai saudara oleh semua suku di Indonesia.


Di kalangan Batak sendiri, salah satu tolok ukur kesuksesan perantau–selain kekayaan, karir dan pangkat, adalah keberhasilan beradaptasi dengan masyarakat tempat dia tinggal. “Jago do imana ba, boi gabe donganna sude parhuta i. Molo adong namartahi jahat tu ibana, pintor parhutai do maju" (Hebat dia itu, bisa dia rangkul semua tetangganya. Kalau ada orang berniat jahat sama dia, para tetangganya itu yang maju menghadang).


Dulu, setiap anak muda yang akan merantau selalu dinasehati oleh orang tuanya,”Malo-malo ho amang/boru da. Unang pailahon. Ingkon patuduon do iba anak/boru ni raja. Unang pajago-jagohon. Lului ma na gabe natua-tuam di pangarantoanmi, ai anggo hami holan pangintubu nama. Molo dia-dia ho, ndang boi pintor tibu ro hami" (Pintar-pintar kau ya Nak. Jangan bikin malu. Tunjukkan bahwa kau anak/boru raja. Jangan sok jago. Carilah yang bisa jadi orang tuamu di rantau, karena kami hanya sebagai orang tua yang melahirkanmu. Kalau ada apa-apa denganmu di rantau, tak mungkin kami cepat-cepat datang).


Sebaliknya, ada juga segelintir Batak sok jago, yang tak disukai kalangan Batak sendiri. Kalau ada orang Batak terbunuh karena sok jago, orang Batak biasanya akan berkata,”Tuani ma matei, ai pantang so jago do antong. I do jambar ni jolma napajago-jagohon" (Syukurlah mati dia, soalnya sok jago sih. Itulah ganjaran yang pantas buat orang sok jago).


Di sisi lain harus diakui, ada sikap antipati dan rasis terhadap orang Batak, tapi itu hanya di perkotaan di pulau Jawa, yang berakar dari sentimen politik. Kebanyakan orang Batak berhasil mengatasinya, dengan kesabaran dan kepedulian, sehingga antipati berubah jadi simpati yang mendalam.

Read More

Piso Gaja Dompak Yang Hanya Dimiliki Sisingamangaraja

Piso Gaja Dompak adalah senjata tradisional yang berasal dari Sumatera Utara. Nama piso gaja dompak diambil dari kata piso yang berarti pisau yang berfungsi untuk memotong atau menusuk, dan bentuknya runcing dan tajam. Bernama Gaja Dompak karena ukiran berpenampang gajah pada tangkai senjata tersebut.


Piso Gaja Dompak, senjata khas suku Batak merupakan pusaka kerajaan Batak. Keberadaan senjata ini tidak dapat dipisahkan dari perannya dalam

perkembangan kerajaan Batak. Senjata ini hanya digunakan di kalangan raja-raja saja. Mengingat senjata ini juga merupakan pusaka kerajaan, senjata ini tidak diciptakan untuk membunuh atau melukai orang lain. Sebagai benda pusaka, senjata ini dianggap memiliki kekuatan supranatural, yang akan memberikan kekuatan spiritual kepada pemiliknya. Senjata ini juga merupakan benda yang dikultuskan dan kepemilikan senjata ini adalah sebatas keturunan raja-raja atau dengan kata lain senjata ini tidak dimiliki oleh orang di luar kerajaan.


Belum ada catatan sejarah yang menyebutkan kapan tepatnya Piso Gaja Dompak menjadi pusaka bagi kerajaan Batak. Namun, dari hasil penelusuran penulis, Piso Raja Dompak ini erat kaitannya dengan kepemimpinan Raja Sisingamangaraja I. Hal ini berdasarkan kepercayaan masyarakat terhadap mitos berasal dari tradisi lisan yang tercatat dalam aksara.


Berkisah tentang seorang bernama Bona Ni Onan, putra bungsu dari Raja Sinambela. Dikisahkan sewaktu pulang dari perjalanan jauh, Bona Ni Onan mendapati istrinya Boru Borbor sedang hamil tua. Dia pun meragukan kandungan istrinya itu. Sampai pada suatu malam ia bermimpi didatangi Roh. Roh itu mengatakan bahwa anak dalam kandungan istrinya adalah titisan Roh Batara Guru dan kelak anak tersebut akan menjadi raja yang bergelar Sisingamangaraja.


Bona Ni Onan kemudian memastikan kebenaran mimpi tersebut kepada istrinya. Istrinya pun bercerita bahwa ketika ia mandi di Tombak Sulu-sulu (hutan rimba), ia mendengar suara gemuruh dan Nampak cahaya merasuki tubuhnya. Setelah mengetahui bahwa dirinya hamil. Ia pun percaya bahwa kala itu ia bertemu dengan roh Batara Guru.


Masa kehamilannya mencapai 19 bulan dan kelahiran anaknya pun disertai badai topan dan gempa bumi dahsyat. Oleh sebab itulah putranya ia beri nama Manghuntal yang berarti gemuruh gempa. Beranjak dewasa Manghuntal mulai menunjukkan sifat-sifat ajaib yang memperkuat ramalan bahwa dirinya adalah calon raja.


Di masa remaja, Manghuntal pergi menemui Raja Mahasakti yang bernama Raja Uti untuk memperoleh pengakuan. Pada saat ia hendak menemui Raja Uti, ia menunggu sambil memakan makanan yang disuguhkan oleh istri raja. Ketika itu secara tidak sengaja ia mendapati Raja Uti bersembunyi di atap dengan rupa (maaf) seperti moncong babi.

.

Raja Uti pun menyapa Manghuntal, ia pun menyampaikan maksud kedatangannya menemui raja dan meminta seekor gajah putih. Raja Uti pun bersedia memberi dengan syarat Manghuntal harus membawa pertanda-pertanda dari sekitar wilayah Toba, Manghuntal pun menurut. Setelah itu Manghuntal kembali menemui Raja Uti dengan membawa persyaratan dari Raja Uti. Raja Uti kemudian memberikan seekor gajah putih serta dua pusaka kerajaan yaitu Piso Gajah Dompak dan tombak yang ia namai Hujur Siringis.


Konon, Piso Gaja Dompak tidak dapat dilepaskan dari pembungkusnya kecuali oleh orang yang memiliki kesaktian dan Manghuntal bisa membukanya. Pasca itu Manghuntal benar-benar menjadi raja dengan nama Sisingamangaraja I. sampai saat ini masyarakat Batak masih mempercayai mitos ini.


Selain sebagai pusaka yang begitu dihormati dan dikultuskan, Piso Gaja Dompak ini memuat simbol-simbol yang bermakna filosofis. Bentuk runcing dari senjata ini, dalam bahasa Batak disebut dengan Rantos yang bermakna ketajaman berpikir serta kecerdasan intelektual. Tajam melihat permasalahan dan peluang, juga dalam menarik kesimpulan dan bertindak.

.

Tersirat bahwa pemimpin Batak harus memiliki ketajaman berpikir dan kecerdasan dalam melihat suatu persoalan. Selalu melakukan musyawarah dalam mengambil keputusan dan mengambil suatu tindakan sebagai wujud dari 'kecerdasan dan ketajaman berpikir dan meihat persoalan'.


Ukiran berpenampang gajah diduga diambil dari mitos memberikan piso gaja dompak dan seekor gajah putih pada Manghuntal atau Sisingamangaraja I. Piso Gaja Dompak adalah lambing kebesaran pemimpin Batak, pemimpin Batak memiliki kecerdasan intelektual untuk berbuat adil kepada rakyat dan bertanggung jawab pada Tuhan.


Menurut hasil wawancara dengan cucu Sisingamangaraja XII yaitu Raja Napatar, salah satu sumber menyebutkan bahwa Piso Gaja Dompak berada di Museum Nasional. Sementara sumber lain menyebutkan bahwa senjata atau pusaka Piso Gaja Dompak berada di salah satu museum di Belanda bersama dengan stempel kerajaan Sisingamangaraja.

Stempel Kerajaan Sisingamangaraja

Read More

Arga Ni Hata Batak Molo di Halak Batak

Ia hinaadong ni Hata Batak, boi dohonon tung inama bidangna.  Ala dibagasan hata i, tung adong situtu do hata haserepon ni roha. Tarlumobima hata pajagarhon tungpe dipudian ni arion, gabe marpulos, gabe hata jagar jagar didok goarna. Sasintongna, jagar ni hata do nian didok goarna. 


Alana, molo hata jagar jagar do dohonon, ima sasahalak jolma napasahathon hata tu donganna, alai ndang sian ias ni rohana laho pasahathon hata i. 

Alai molo didokkon ma muse gabe jagar ni hata, ima hata nalabe jala lambok, alai tujuanna  mandapothon hadengganon. Alana, tungpe binoto goar ni bao niba, tongka do goaran. Suang songoni ma nang manghatahon Hata Batak nauli. 


Hurang suman do dihata loloan dohonon hata tingkos. Naeng ma nian sihatahonon, ima hata sabungan marhite hata namarsiarisan dohot namarsipasangapan.

Ala tung ramot do Halak Batak laho mangaradoti hatana molo lao manghatai.

Alana, adong do di Hata Batak i sada hata namandok, Antuk do guru ni pungga, soit do guru ni hata. Molo so jamot do hita mangaradoti dihata on, gabe Roma hata ni naparpudi manghatai, laho mamagari dohot manambori hata naung tadokkon i. 

Hape, hurang tama do sada raja naung pinaraja, gabe sipagaran manang sitamboran dope hatana diloloan purnama.


Boasa gabe boi sipagaran manang gabe sitamboran hata ni parhata? Alusna, ala so diantusi dope ruhut ni pangtaion namandok, hata manunggal hata lalaen, hata torop do sabungan ni hata.

Ala sai marhata manunggal do hata ni sasahalak jolma, ujungna, hata batak i sandiri ma mangalusi ibana mandok, jolo nidilat ma bibir asa nidokhon hata niba. Jolo hinolak ma bolon niba, asa mangunsande iba. Jumolo nietong ma timbo niba asa nilangkahon simanjojak niba.

 

Alana, ai dijaga Hata Batak i do hita sotung maon ro hata sitabaron namandok, tungso boi do tarlangkaan dolok Martimbang. Lapatanna, sai jumolo ma idaon lage naung pinaherbang ni hasuhuton, asa niluluan didia do parhundulna niba. Ai marhite parhundul ni angka naung pinaraja do rumang ni hata nalaho sihatahononna.

Molo di jabu bona do parhundulna, hata ni hasuhuton ma antong sihatahononna. Molo di jabu Soding do parhundulna, hata ni Hahaanggi dohot dongan parhundul ma antong hatana. Molo di jabu Suhat do parhundulna, hatani Parrajaon dohot Raja huta ma antong hatana. Molo di jabu Tampiring do parhundulna, ba hata ni Pargellengon ma antong hata sidohononna.


Marhitehon parhundulon naopat Suhi onma Halak Batak asa dapot rumus ni hata nalaho sidohononna. Marhite, ima rumus Opat R.

1. RUMANG

2. RIMANG

3. RUHUT

4. RAHUT


Jala asa dapot hata Naopat Suhion, ingkon tung ingkon manat do hita antong laho marningot jolma nalaho mangisap timbaho karo namamangke pusuk ai namarlapatan do i dirhmang ni pangkataion.

Disan, boi do idaonta, andorang so di Palit Amanta parisap i dope pusukna i, sai jumolo dipillit ibana do Pusuk nadenggan nalaho sipangkeonna. 


Molo di pangkataion didokma i, sai marsundung tu sabungan ni hata Nangkok tu sipuli, tuat ma tu sideak dst ma hata nalaho sihatahonon.

Dung dipillit angka Pusuk nadenggan i sian pangarahutna i, dipahembang ma Pusuk i  jala digopu huhut dipahusor husor. 


Molo di pangkataion, didokma i tinggil maho manangihon, jala ingkon bangkol ma mangkatahon.

Ndang pintor dipamasuk Amanta parisap i dope timbaho i tu Pusuk i. Dipabalik dope jala dirisihi asa haruar angka obut obuk ni Pusuk i jala asa labe paliton ni parisap i molo dung masuk timbaho i.


Molo dipangkataion didokma i, sotung adong nadolgi nasa eme, nagabe halang nasa obuk. Alana, dijaga hata Batak i do asa unang rumar pangkataion ni raja, hinorhon ni hata nasian jolma naso mangantusi lapatan ni hata, Dadap unang tarsuga, jala ingkon manat do asa unang tarrobung.


Sai hamanaton do diula angka raja molo mangkatai marhitehon hata, naniandehon do umbahen nagabe sige, naniarishon do umbahenna gabe hata.

Lapatanna, molo sai adong do jolma majolo joloi mangkatai hape ndang marhite hata naniarishon, ima nanidokna hatalalaen.


Alai, ala nunga boi be nuangenon alani habaranion ni sasahalak jolma gabe mangkatai, tungpe ndang pola dope nian diantusi Ibana rumang ni pangarajumion ni hata Batak i. Ujungna, gabe marlaok laok ma hata Batak naulii sian hapolinonna, mambahen natorop gabe mengkel martata huhut mandok, nunga marbias bias be mandapothon paradatan tarlumobi laho marsiajar dihata batak ala nunga meleng eleng songon hudon naso niharpean. Ndang binoto be manangna didia do hata batak i natoho.


Ndang hinata, ndang boi be tarida hapitaon ni hata batak naulii ala nunga jolma nahurang "Sarira" be gabe pinaraja laho manariashon hata i. 

Ala nahurang Sarira do jujungan i, ujungna, manginsu ma sude nahinatahon ni soranganna i. 

Umbahen naboi pe gabe manginsu hata ni soranganna i, jumpa ma hata namandok, "Hau punggur punggur pe nunga pinanangkok be tupara para laho mambahen soban ditingki ari parudan. Jolma nagurdungon pe nunga boi be gabe raja Parhata, marmodalhon Sinadongan".


Horas ma dihita saluhutna.

Read More

Makna Penutup Kepala Pria Batak

Dalam adat istiadat orang Batak, pada masa lalu, lelaki dewasa menganggap lebih pantas dan berwibawa bila menggunakan penutup kepala. Penutup kepala dalam budaya Batak disebut Talitali, yaitu kain yang dililitkan di sekeliling kepala. 



Berbeda dengan Tengkuluk dalam budaya Melayu yang biasanya merupakan penutup kepala yang sudah jadi dan tinggal disematkan di atas kepala, Talitali Batak harus dililitkan sendiri dari sehelai kain.


Ketika tidak dililitkan, kain Talitali bisa berupa selembar kain biasa atau kain tenun ulos yang bagus yang bisa digunakan untuk keperluan lain. Natuatua atau orang yang dihormati biasanya memilih kain yang bagus, seperti kain tenun atau kain batik, untuk dijadikan ikatan kepala. Salah satu contoh kain yang digunakan untuk Talitali adalah kain sutra hitam, kain sutera halus berwarna hitam yang diimpor dari luar.


Talitali yang terbuat dari kain berkualitas dengan lilitan yang rapi dan cantik disebut Detar. Talitali dengan kain Tigabolit atau Bonangmanalu biasanya digunakan dalam acara-acara ritual. Sedangkan Talitali yang digunakan dalam aktivitas sehari-hari di kampung atau di ladang biasanya menggunakan kain biasa saja.


Seperti yang telah dijelaskan di awal, Talitali atau penutup kepala orang Batak terkesan lebih sederhana jika dibandingkan dengan penutup kepala orang Melayu yang sering dihiasi dengan puncak yang runcing dan lancip..


Tentang Talitali atau penutup kepala ini ada Umpasa Batak berbunyi sebagai berikut ;

Molo pogos ho amang parsiajari mangaithon detar, 

Molo mamora ho amang parsiajari martalitali sungkit


Secara tradisional, detar dan sungkit adalah dua elemen budaya yang sangat penting bagi masyarakat Batak di Sumatera Utara, Indonesia. Detar adalah selembar kain halus yang umumnya digunakan untuk menutupi kepala, sedangkan sungkit adalah tanaman dengan daun yang biasa digunakan untuk membungkus kue tradisional.


Dalam konteks ini, "Talitali sungkit" dapat diartikan sebagai gambaran seseorang yang menutupi kepala dengan daun sungkit dalam keadaan hujan. Hal ini mencerminkan sifat rendah hati dan tidak memperdulikan status sosial atau materi. Pesan dari seorang ibu yang melepas anaknya pergi merantau menuntut kesejahteraan hidup dalam falsafah Batak adalah agar anaknya selalu memiliki sifat rendah hati dan bersikap hormat dan bermartabat dalam setiap situasi.


Selain itu, pesan tersebut juga mengajarkan bahwa keberhasilan dan kesuksesan tidak boleh membuat seseorang sombong dan terpisah dari orang-orang yang kurang beruntung. Sebaliknya, mereka harus memahami dan merasakan kehidupan orang kecil tak berpunya dan selalu membantu mereka yang membutuhkan.


Dalam keseluruhan pesan ini, ibu memberikan nasihat yang bijaksana dan bernilai dalam mencapai Hagabeon, Hamoraon dan Hasangapon. Anaknya harus belajar untuk menjadi pribadi yang baik, rendah hati, dan terhormat dalam setiap keadaan, serta menghargai kehidupan orang lain tanpa memandang status sosial atau materi.


1. TAHULUK

Kata "Tahuluk" mungkin terdengar mirip dengan "Tekuluk", dan dalam bahasa Batak disebut "Tangkuluk". Tahuluk terbuat dari anyaman daun panda atau baion, yang mirip dengan tanduk tetapi lebih pendek dan sesuai dengan ukuran kepala. Alat ini digunakan untuk bekerja di ladang, sawah, atau saat menggembala ternak. 

Karena pekerjaan ini umumnya kasar, seseorang yang melakukan pekerjaan yang membutuhkan etika dan tata krama harus berhati-hati dan cermat. Jika seseorang melakukan pekerjaan itu secara sembrono, maka dia akan ditegur dengan kata-kata "ueeee... sitahuluk on...", yang berarti dia dianggap tidak mampu melakukan pekerjaan yang diberikan kepadanya. Sitahuluk biasanya digunakan untuk menyebut seseorang yang tidak ahli dalam melakukan suatu pekerjaan.


2. TANGKI

TANGKI merupakan ikat kepala yang terbuat dari kulit kayu. Ikat kepala ini umumnya dibuat dari kulit kayu tualang yang memiliki serat yang kokoh. Serat tersebut kemudian dililitkan di sekitar kepala, dan disebut dengan Tangki. Oleh karena itu, terdapat sebuah pepatah yang mengatakan: "Tangki hau tualang, galinggang ginalege. Tubu ma anak partahi jala ulubalang, boru parmas jala pareme"


Selain itu, terdapat pepatah lain yang berbunyi: "Pinartangki laklak, pinarhorunghorung singkoru, marsolotan bungabunga. Tubu ma anak dohot boru gabe ma nang naniula"


Tangki biasanya dipakai oleh orang Batak untuk acara-acara adat, seperti pernikahan atau upacara adat lainnya. Ikat kepala ini memiliki makna yang dalam bagi masyarakat Batak, karena melambangkan kekuatan dan keberanian dalam menghadapi kehidupan. Selain itu, penggunaan Tangki juga dianggap sebagai simbol penghormatan terhadap leluhur dan warisan budaya nenek moyang.


3. TALITALI

TALITALI adalah ikat kepala yang terbuat dari tenunan ulos berbagai macam ragam. Untuk yang muda hingga dewasa biasanya menggunakan mangiring dengan warna agak cerah dan motif yang jelas. Sedangkan untuk yang tua, digunakan mangiring dengan warna yang lebih tua dan motif halus yang disebut mangiring padang ursa. 


Di dalam budaya Batak, ada tiga warna yang penting, ketiga warna tersebut dapat menjadi pengikat kepala. Warna hitam dengan hiasan digunakan oleh para raja dan raja parbaringin, warna merah digunakan oleh para ulubalang, dan warna putih biasanya dipakai oleh pardebata jinujung. Apabila ketiga warna tersebut dibelit, maka digunakan oleh Ulubalang nabegu atau disebut juga partigabolit. Jika seseorang merupakan seorang Raja Pemimpin Upacara, maka dipakailah tumtuman.


Tumtuman adalah ikat kepala dengan warna hitam dan rambu merah. Rambu merahnya muncul dari atas lilitan atas. Tumtuman berasal dari kata dasar tumtum yang artinya ikat. Santumtum berarti seikat. Talitali tumtuman bermakna seorang pemimpin yang mampu mengikat dari berbagai kemampuan hingga menyatu menjadi kekuatan besar. Hal ini karena warna hitam memiliki makna kepemimpinan, sedangkan warna merah memiliki makna pengetahuan atau kekuatan.


Pandai melilitkan ikat kepala merupakan tanda bahwa seseorang diharapkan bisa menjadi pemimpin. Melilitkan ikat kepala sendiri dapat menunjukkan kemampuan seseorang dalam hal kerapian, estetika, dan kehormatan. Cara melilitkan ikat kepala dapat membaca karakter seseorang. Oleh karena itu, ada perumpamaan di masyarakat Batak yang mengatakan "Sai tubu ma anakmu na malo martalitali..." yang artinya diharapkan akan lahir anak yang bisa merangkai, menata, dan menjadi pemimpin.


Naujui halak Batak , boi dohonon martali talido (tali tali dipakke disimanjujung )

Molo napogos tali tali sukkit.

Molo namora /raja detar ma tali talina.


Molo pogosho unang patukki hu simanjujungmu.

Molo mamoraho unang ginjang roham.

Read More

Apakah Bisa di Punguan Batak itu Begini?

Menurut KBBI, arti kata patut adalah baik, layak, pantas, senonoh. Mengapa ada yang patut dan ada yang tidak patut?

Dalam teori, kepatutan suatu hal bisa diuji jika suatu hal yang dilakukan itu tidak mengakibatkan kerusakan, keitidakharmonisan, kekacauan, dan hal-hal buruk lainnya.


Contoh, ketika gereja digunakan untuk menggalang dukungan di pilkada. Disamping secara etika gerejawi hal itu tidak patut dilakukan, hal lainnya yang membuat tidak patut adalah jika ada 2 atau lebih kandidat dalam satu gereja lalu gereja akan bersikap bagaimana? 

Jika gereja mendukung kandidat A bagaimana dengan kandidat B? Lalu apa dasar untuk mendukung kandidiat A dan apa dasar tidak mendukung kandidat B? Situasi ini akan mencipatkan disharmoni di dalam gereja sehingga menjadi tidak patut dilakukan.


Demikian juga jika hal yang sama dilakukan dalam punguan marga. Disamping tidak etis juga menggunakan marga untuk digunakan dalam pilkada karena punguan marga itu adalah kegiatan sosial, persoalan lainnya adalah jika dalam satu punguan kelompok marga itu ada 2 atau lebih kandidat yang maju lalu atas dasar apa suatu punguan marga mendukung salah satu kandidat sementara kandidat yang lainnya tidak didukung? 

Hal ini juga akan menciptakan ketidakharmonisan di antara sesama anggota punguan marga sehingga menjadi tidak patut dilakukan.

Seharusnya para kandidat itu melakukan hal-hal yang patut dalam proses pemilihan, sehingga mereka pun patut untuk dipilih.


Sebagaimana cita-cita awal dibentuknya punguan adalah untuk mengatur hidup bersama dalam tatanan budaya Batak, namun sayangnya yang terbanyak justeru mengurusi masalah adat. Adat memang bagian dari budaya. Sementara budaya juga mencakup bidang lain, seperti seni, termasuk sastra, yang belum pernah disentuh oleh punguan-punguan marga. Punguan juga bisa berfungsi untuk memikirkan solusi bagi anak-anak mereka yang lahir di rantau yang tidak lagi bisa berbahasa Batak.


Harusnya punguan bisa menjadi kekuatan dalam melestarikan budaya Batak. Bukan melestarikan budaya yang salah. Kalau dalam adat Batak, parsinambul juga sudah bisa dilakukan oleh orang dari luar marga, maka itu artinya budaya itu telah dirusak. Hanya seremoni dan gagah-gagahan. 


Selama ini punguan marga hanya mengurusi pelaksanaan adat, yang sering menjadi kegiatan yang melelahkan dan bertele-tele. Yang saban tahun hanya menggelar Bona Taon dan bersifat seremonial semata. Bona Taon dipertontonkan hanya untuk memamerkan prestise dan kebesaran sesuatu marga.

Seharusnya, punguan marga bisa membantu proses pelestarian kebudayaan, bukan malah mengubah tatanan adat yang sudah ada, sebagaimana dikatakan J.C. Vergouwen. Bahwa tata adat yang diciptakan oleh nenek moyang terdahulu, itulah yang bersifat penuh, bulat, utuh, pantang untuk diubah. 


Yang tersimpul dalam satu ungkapan, Omputta sijolo tubu martungkotton siala gundi, pinunggaka ni parjolo ihuttonnon ni parpudi. Intinya, yang dirintis nenek-moyang sebaiknya diikuti generasi berikutnya. Yang baik dipertahankan, yang tak berkenan ditinggalkan

Read More